Rabu, 21 Maret 2012

Tentang sepak bola : tiki-taka vs teka-teki

Jakarta - Apa bedanya sepakbola milik
Spanyol dengan sepakbola milik
Indonesia? Sementara Spanyol sudah
menampilkan permainan cantik bertajuk
"Tiki-Taka", Indonesia masih terjebak
dalam teka-teki.
Tiki-taka (atau tiqui-taca dalam pelafalan
bahasa Spanyol) belakangan mendunia
sejak Barcelona dan tim nasional Spanyol
memeragakannya di lapangan sepakbola.
Gaya permainan tersebut terkenal dengan
operan-operan pendek dan pergerakan
pemainnya dalam mencari ruang-ruang
kosong di lapangan. Dengan satu atau
dua sentuhan, bola pun sudah ada di
depan area lawan. Sungguh membuat
takjub.
Ada beberapa pendapat yang
mengatakan bahwa Tiki-Taka adalah
pengembangan sepakbola modern
terhadap Total Football. Setidaknya,
setiap tim yang memeragakan gaya
sepakbola tersebut mewajibkan para
pemainnya bergerak secara fluid (cair
atau mengalir) dan menerapkan pressing
tinggi. Sid Lowe, seorang kolumnis Inggris
yang berbasis di Spanyol, menyebut
bahwa gaya permainan tersebut, plus
agresivitas khas Spanyol, telah membuat
La Furia Roja memenangi Piala Dunia
2010.
Demikianlah sepakbola modern. Apa yang
dibahas sudah sampai pada titik evolusi
permainan hingga evolusi posisi pemain.
Dunia sepakbola kini mengenal istilah
'false 10' dan 'false 9', untuk seorang
pengatur permainan dan penyerang yang
tidak terpatok pada tugas aslinya-- false 9
sering diartikan sebagai penyerang
tengah yang kerap turun jauh ke lini
kedua--, hingga 'inverted winger' untuk
seorang pemain sayap yang ditempatkan
pada sisi lapangan yang berseberangan
dengan kemampuan kakinya--contoh:
pemain sayap yang dominan
menggunakan kaki kanan ditempatkan
sebagai sayap kiri.
Di luar lapangan, banyak konsep menarik
yang sudah diterapkan federasi negara
masing-masing demi memperbaiki
permainan tim nasionalnya. Juergen
Klinsmann, ketika masih menangani tim
nasional Jerman, pernah meminta kepada
DFB untuk mengenalkan skema
permainan yang diinginkannya kepada
klub-klub Bundesliga. Hal serupa juga
dilakukan RFEF (Federasi Sepakbola
Spanyol) yang meminta kepada tim
nasional untuk remaja, di bawah usia 17,
19 dan 21 tahun memainkan pola yang
sama dengan tim senior yang sudah
memenangi Piala Eropa 2008 dan Piala
Dunia 2010.
Oleh karenanya, jangan heran jika
talenta-talenta Jerman dan Spanyol
seperti tidak ada habis-habisnya. Setelah
Thomas Mueller, kini muncul Mario
Goetze. Setelah Andres Iniesta, kini
muncul Iker Muniain, dan demikianlah
seterusnya. Apa yang mereka pikirkan
sudah terfokus pada hasil yang harus
diperoleh di lapangan, tanpa persoalan
remeh-temeh lainnya. Kompetisi dijadikan
ajang untuk mengasah kemampuan
supaya kualitas tim nasional juga tetap
terjaga.
Lalu, muncul pertanyaan standar (kalau
bukan klise): Ketika dunia sepakbola di
sekitar sudah sampai demikian majunya,
sudah sampai mana Indonesia?
****


Palangkaraya, 18 Maret 2012. Kota yang
dibangun setelah kemerdekaan Republik
Indonesia itu tampak sepi seperti
biasanya. Beda dengan Jakarta yang
jalanan-jalanannya dipenuhi kemacetan
dan relatif semrawut, Palangkaraya sama
sekali tidak mengenal kata macet. Jalan-
jalannya besar dan lapang dengan satu-
dua mobil atau motor sesekali melintas.
Wajar, dengan luas area yang mencapai
dua ribu kilometer per segi--lebih luas
daripada Jakarta--, Palangkaraya hanya
dihuni sekitar 300 ribu penduduk. Saking
sepinya, Anda akan kesulitan mencari
taksi (yang konon jumlahnya tak sampai
belasan).
Sepinya Palangkaraya seperti menutupi
keriuhan yang terjadi di dalamnya;
Kongres Tahunan PSSI. Tak hanya itu,
kota yang sempat diniatkan mendiang
Presiden Soekarno menjadi ibukota RI
tersebut juga kedatangan tim nasional
bawaan PSSI, yang di dalamnya ada Irfan
Bachdim dan Diego Michiels. Bagi warga
Palangkaraya, kedatangan tim nasional
ke kota mereka adalah hal yang langka,
demikian dituturkan Gubernur Teras
Narang. Alhasil, Irfan dan Diego pun jadi
korban jepretan kamera ketika tim
nasional menggelar temu warga di
halaman Hotel Danum.
Kongres PSS tampak berjalan lancar,
meski masih menyisakan kegusaran.
Berkali-kali para petinggi dan pejabat
federasi sepakbola Indonesia itu
menyuarakan rekonsiliasi, yang
tampaknya diterima dengan baik oleh
beberapa pihak. Mereka mendengungkan
niatan untuk membereskan masalah
kompetisi di Indonesia; menyatukanya
atau membiarkannya tetap ada dua,
namun keduanya berjalan di bawah
arahan PSSI. Wacana tersebut sudah
mendapatkan tanggapan positif, meski
juga disambut dengan rasa was-was.
"Jangan ge-er dulu kita, itu baru inisiatif
PSSI, baru pernyataan saja. Saya sudah
baca poin-poin hasil kongres tahunan
mereka, hanya dua poin yang
menyangkut kompetisi," ujar Direktur
Marketing PT. Persib Bandung
Bermartabat, Muhammad Farhan.
Dalam poin yang dirilis setelah kongres,
PSSI memang menyatakan, "Kongres
menyetujui penguatan skorsing kepada
32 klub yang telah diputuskan Komite
Eksekutif karena mengikuti the breakaway
league. Namun, kepada seluruh klub
tersebut, terbuka kesempatan untuk
kembali dengan syarat menyampaikan
pernyataan kembali bergabung secara
tertulis dan terpublikasikan, juga berjanji
untuk memenuhi statuta dan ketentuan
yang berlaku". Maka, kemudian timbul
pertanyaan lagi: Maukah klub-klub ISL
menyatakan pernyataan kembali
bergabung?
Pertanyaan tersebut bisa jadi rumit
jawabannya. Kubu klub-klub ISL mau-
mau saja menerima, namun yang kerap
dipermasalahkan mereka adalah hadirnya
dualisme klub, seperti yang dialami oleh
Persija Jakarta dan Arema, hingga enam
buah tim yang disebut seharusnya tidak
berada dalam kasta tertinggi kompetisi.
"Kita masih menunggu tindakan PSSI,
bentuk rekonsiliasinya seperti apa. Kita
hanya minta, 6 tim itu tidak berada
disana," ujar Direktur Teknik SFC, Hendri.
Enam klub itu adalah PSM Makasar,
Persema, Persibo, Bontang FC,
Persebaya, dan PSMS. Entah bagaimana
PSSI bakal menyelesaikan masalah ini.
Yang jelas, mau tidak mau Djohar Arifin
Husin dkk. tidak bisa tidak
mempedulikannya. Pun, klub-klub ISL
tidak bisa semata-mata mementingkan
urusannya sendiri.
Dalam kongres yang berlangsung akhir
pekan lalu, PSSI tampak tenang-tenang
saja menanggapinya. Sikap serupa juga
mereka munculkan ketika mendapatkan
pertanyaan yang tak kalah penting, yakni
"Bagaimana dengan sanksi FIFA?"
Djohar Arifin Husin, dan juga CEO PT LPIS
Widjajanto, mengklaim bahwa mereka
optimistis sanksi tersebut tidak akan
dijatuhkan. Alasannya, badan tertinggi
sepakbola dunia itu tahu jika PSSI sudah
mengusahakan rekonsiliasi. Pernyataan
PSSI, boleh jadi menenangkan. Tapi,
secara logis dan kasat mata, itu baru
pernyataan sepihak saja. Kita tidak tahu,
apakah FIFA akan benar-benar
menghitung usaha PSSI untuk rekonsiliasi
dalam penilaian mereka atau hanya ingin
melihat hasil akhirnya semata.
Masalah masih ditambah dengan KPSI
(Komite Penyelamat Sepakbola
Indonesia) yang terus saja melancarkan
gerakan-gerakannya, termasuk memilih
dan menetapkan La Nyalla Mattalitti
sebagai ketua umum PSSI yang baru versi
mereka. Apa pula ini?
Menpora Andi Mallarangeng sudah
mengatakan bahwa PSSI hanya ada satu.
Tapi sayangnya ia juga mengatakan
bahwa keputusan akhir mengenai mana
yang sah dan tidak sah ada di tangan
CAS dan FIFA. Ah, lagi-lagi kita
mengandalkan pihak luar untuk
menyelesaikan masalah rumah tangga
sendiri. Semestinya ia bisa lebih tegas
dalam bersikap.
Sepakbola teka-teki yang dimainkan di
kalangan federasi dan tingkatan atas itu
akhirnya berimbas ke lapangan. Secara
kiasan, kita juga tidak tahu pola
permainan seperti apa yang sebenarnya
ditampilkan tim nasional di lapangan.
Seperti teka-teki; menebak-nebak dan
menerka-nerka, ke mana bola akan
dilepas. Oleh karenanya, jangan heran
jika Brunei Darussalam yang bisa bermain
operan pendek-pendek dan berorganisasi
dengan rapi mampu mengalahkan
Indonesia.
Apa jadinya jika semua tim nasional di
dunia sudah bisa bermain seperti itu?
Lagi-lagi, sebuah teka-teki.
Katakanlah teka-teki tersebut diajukan
kepada PSSI, maka badan tertinggi
sepakbola nasional itu wajib punya
jawabannya. Membenahi permainan di
lapangan jelas harus didahului dengan
membenahi kompetisi lebih dulu. sejauh
ini, PSSI sudah mengatakan bahwa baik
IPL atau pun ISL akan dibiarkan
menyelesaikan kompetisinya sampai akhir
musim ini. Ini hal baik bukan?
Selanjutnya, bagaimana dengan musim
selanjutnya? PSSI bisa memulainya lagi
dari nol. Ya, semua proses (dan
transparansinya) bisa dimulai dari nol
lagi -- kenapa tidak? --, dengan catatan
bersama-sama, demi kebaikan sama-
sama.
Apabila, katakanlah, klub-klub itu masih
ngotot mempersoalkan enam klub yang
mendapatkan promosi "gratis" ke divisi
teratas di IPL, PSSI harus memikirkan itu
lagi dengan bijak dan adil. Juga terkait
beberapa klub yang terpecah-pecah, yang
menyebabkan timbulnya cap klub "asli"
dan "palsu".
Di sini kejernihan berpikir PSSI sangat
dibutuhkan, jangan melihat dengan
kacamata kuda. Ada banyak suara dan
pendapat di luar sana, termasuk dari
kubu suporter. Sudah seharusnya PSSI
memasukkan suara-suara mereka ke dalam hitungan. Sebab, tentu tidak ada suporter yang suka melihat klub kesayangannya menjadi terpecah-belah.
Sebaliknya, yang tidak kalah penting
adalah, klub-klub (ISL) pun harus
mengenyahkan motif-motif di luar
olahraga itu sendiri, dan mau kembali ke
PSSI. Mereka juga wajib menunjukkan
keinginan baik dan tulus untuk bersama-
sama memperbaiki iklim sepakbola, yang
mana mereka termasuk di dalamnya.
Kekusutan ini akan terus menjadi jebakan
apabila kepentingan-kepentingan non-olahraga malah dikedepankan melulu.
Kenyataannya, masyarakat tidak bodoh dan menyadari betul ada kekuatan politik
yang bermain di ranah sepakbola,
termasuk melalui klub-klub sepakbola.
Lepaskanlah, lepaskanlah, supaya segala
teka-teki kesemrawutan sepakbola
Indonesia bisa berakhir dengan jawaban-jawaban yang benar dan didambakan
sama-sama.
===
* Penulis adalah wartawan detiksport. @RossiFinza .

Published with Blogger-droid v2.0.4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar